Bak di daratan Siberia sana, udara shubuh kali ini terasa sangat dingin, dingin sampai menusuk ke tulang. Tak biasanya sedingin ini, mungkin karena semalam hujan turun lumayan deras mengguyur seluruh Kota Salatiga. Tak terkecuali Pondok ini. Pondok kecil khusus mahasiswa yang terletak di samping jalan raya dengan palang besarnya bertuliskan PPTI AL HIKMAH.
terlihat dari kejauhan, seorang pemuda berbaju koko putih lengkap dengan peci berjalan menyusuri lorong asrama pesantren. Pemuda tersebut berjalan kearah pintu kayu di pojok asrama. Ia lalu membuka pintu itu dan meraba raba dinding, mencari keberadan saklar lampu. Tak lama, lampu di rungan itu pun menyala terang, memenuhi seisi ruangan.
Setelah lampu menyala, di ruangan itu, di atas pintu, terlihat sebuah papan kayu berwarna hijau bertuliskan KANTOR PONDOK dan di bawahnya tertulis ”AL ADABU FAUQOL ILMU” berbahasa arab. Selain papan itu, terdapat meja dan kursi di pojok runagan, lemari arsip berwarna coklat dan meja kayu ala-ala kantor. Pemuda itu melirik ke arah jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul 03.30 WIB. Ia harus melaksanakan tugasnya, yaitu membunyikan bel dan pengumuman akan datangnya waktu sholat. Sudah menjadi rutinitasnya melakukan hal tersebut. Ia kemudian membunyikan bel yang sontak langsung membuyarkan keheningan seisi asrama, bunyi yang sangat mengesalkan bagi sebagian sntri.
NGINGGG NGIIING NGIINGGG…. Begitulah kiranya bunyi bel itu.
Setelah bel dibunyikan, asrama yang tadinya sangat sepi, perlahan mulai berisik dan ramai. Para santri yang sedang tertidur lelap terpaksa bangun karena sudah masuk waktu shubuh. Meskipun bel telah berbunyi, masih banyak juga santri yang susah bangun dan masih tertidur pulas di kamarnya masing-masing. Mereka hanya membuka mata sebentar, lalu menarik selimutnya dan kembali tertidur.
Meski banyak yang masih tertidur, terdapat pula tiga atau lima orang santri yang langsung bangun saat bel berbunyi, termasuk salah satu santri penghuni kamar 42, kamar yang berada di tengah-tegah asrama. Santri tersebut bernama Ali, seorang pemuda dengan rambut pendek dan bertubuh lumayan kurus. Ia terbangun dari tidurnya, merapikan selimut dan melipatnya. Ia kemudian berdiri dan mengambil sarungnya yang terselempang di atas pintu lemarinya. Ia menyalakan lampu lalu keluar kamar dan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.
Ia menatap sekeliling, bel telah berhenti berbunyi, asrama kembli sunyi. Ia berjalan menuju ke lantai 1, tempat kamar mandi santri berada. Ia kemudian berwudhu dan membersihkan diri. Rasa kantuknya hilang ketika air kran mulai mengenai tangan dan wajahnya, airnya sangat dingin namun menyegarkan. Setelah selesai wudhu, ia lalu beranjak meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju tangga lantai 2.
Saat berjalan ke arah tangga, ia berpapasan dengan seorang pemuda yang terlihat baru keluar dari kantor pondok, pemuda tersebut tak lain adalah yang tadi membunyikan bel dan memberikan pengumuman akan datangnya waktu shalat.
“Assalamualaikum,” sapa pemuda tersebut .
“Waalaikum salam kang,” jawab Ali.
“Sudah bangun Li?”
“Hehe iya kang Alif, semalam tidur gasik jadi bangunnya agak cepet, denger bel bunyi langsung sadar nih,” Jawab Ali.
“Bagus dong kalo gitu, yang lain sudah pada bangun belum li?”
“Belum kang, masih pada tidur tuh di kamar, nanti saya bangunin deh,”
“Oke li, saya juga mau keliling asrama dulu, ngoprak ngoprak santri,”
“iya, kalo gitu saya ke atas dulu ya kang, mau siap siap”
“ya, kamu jangan lupa ya nanti bawa al qur’an, tadarus dulu di masjid sambil nunggu adzan shubuh”
“SIAPP KANG,” jawab sigap dari Ali.
Mereka berdua pun melanjutkan kegitannya masing-masing, Ali masuk ke kamar dan pemuda itu, Kang Alif namanya pergi keliling asrama dengan membwa sebuah kayu rotan untuk membangunkan para santri. Sesampainya di kamar, Ali membangukan teman-temannya, dan segera bersiap-siap pergi ke masjid.
Bel kedua telah berbunyi, pertanda Adzan shubuh akan segera dikumandangkan. Ali bersama teman sekamarnya sudah rapi degan baju koko dan pecinya masing-masing. Mereka berjalan bersama sambil ngobrol-ngobrol sedikit.
“Li, nanti habis shubuh ngajiya apa yah??” tanya seorang teman, namanya Huda.
“Emm, ngaji Ta’lim Muta’allim,” jawab Ali dengan datar.
“Aduh pelajaran itu lagi, mana kemarin belum muthala’ah,” keluh temanya yang lain, namanya Riyan, si paling doyan makan, tak heran tubuhnya seperti tahu bulat.
“Hah iya, aku malah belum ngafsahi pelajaran kemarin,” kata Huda.
“Gimna nih, kalo nanti disuruh maju baca kitabnya, apa lagi kan suka ditanya-tanya gitu, kalo ga bisa auto berdiri sejam,” Huda melanjutkan.
“Hud, kamu bikin takut aku aja weh,” kata Riyan.
“Makanya, rajin berangkat ngaji, tuh kan ketinggalan pelajaranya, mana belum nembel lagi. Haduhhh… Yan Riyan, kerjanya tidur sama makan mulu,” perkataan yangg sangat pedas dari Imam, teman Ali yang lain, yang terkenal blak-blakan. “Makannya, jadi santri tuh kaya Ali nih, udah rajin, pinter, shaleh, hafal Alfiyyah lagi!” ia melanjutkan.
“Jangan lupa, Ali jadi perwakilan kita untuk lomba tingkat Internasional,” Tambah Riyan.
“Hah, eggak-enggak, biasa aja, aku masih belum ngerti apa-apa kok,” jawab Ali merendah.
“Yee, iya deh aku akauin Ali emang pinter, tapi kalo soal kegantengan, aku menang telak, Hehe. Rajin doang ga akan buat cewe-cewe kepincut mam,” kata-kata dari mulut super PD-nya Huda.
“Dihhh najis banget deh Hud, muka pas-pasan gitu dah,” celetuk Riyan. Semuanyaa mengangguk dan mencemooh Huda.
“Heh, sudah sudah, ngbrolnya nanti aja, itu kang Alif udah adzan, ayo kita masuk ke dalam,“ lerai Ali.
“Iya li iyaaa,” jawab mereka kompak.
Mereka berempat pun masuk dan menggelar sajadahnya masing-masing, mendengarkan lantunan adzan shubuh yang sangat merdu hingga waktu sholat jama’ah shubuh tiba.
Singkat cerita, sholat shubuh telah selesai. Para santri mulai berhamburan keluar dari masjid dan bersiap-siap mengambil kitab pengajian shubuhnya masing-masing.
Ali, Huda, Riyan dan Imam pun segera pergi ke kamar, mengambil kitab ta’lim muta’allim dan langsung menuju Aula, tempat mereka mengaji shubuh. Mereka berempat duduk di meja paling depan. Aula itu, dengan dinding yang terbuat dari kayu, berubin putih dan berderet meja-meja pendek berwarna hijau untuk mengaji. Mereka duduk lesehan di atas ubin hanya beralaskan sajadah. Sekitar 30 santri putra dan putri mengaji di aula itu. Santri putra duduk di depan dan yang putri di belakangnya.
Mereka membuka kitabnya masing-masing, membaca ulang pelajaran yang kemarin diajarkan.
Setelah menunggu sekitar 5 menit, akhirnya pak Kyai Zubair, pengampu pelajan kitab ta’lim muta’alim sekaligus pengasuh pondok pesantren Al Hikmah datang. Seorang lelaki dengan usia yang sudah sepuh, dengan rambut dan jenggot yang sudah memutih. Beliau adalah seorang kyai yang alim dan arif, ilmunya tak terhitung lagi. Beliau adalah sosok panutan semua santri di sini. Beliu berjalan dengan tertatih menghampiri kursi kayu yang biasa beliau gunakan untuk mentransfer ilmunya.
Semua santri menunduk sebagai bentuk ta’dzim dan hormat pada kyai. Ali dan teman-temannya bersalaman dan mencium tangan Kyai Zubair. Terlihat raut wajah Kyai Zubair yang bersinar meskipun kulitnya sudah keriput di makan usia. Beliau lalu duduk dan memulai pengajian kali ini.
“Al Faatihah…” suara pelan dari Kyai Zubair.
Semua santri membacaa surah Al Fatihah dan do’a sebelum belajar. Suasana Aula yang adem dan khusyuk, membuat nyaman mengaji. Pada pengajian kali ini, Kyai Zubair menerangkaan perkara atau hal-hal yang membuat ilmu itu bisa bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.
“Anak-anakku sekalian, seorang santri tidak akan pernah bisa lepas dari seorang guru atau kyai, mereka sudah kodratnya terikat dalam hubungan yang sangat mulia. Ilmu yang didapatkan santri tak akan bisa bermanfaat tanpa adanya ridho guru. Jika kalian ingin mendapatkan keberkahan ilmu, berkhidmahlah kalian, turuti apa yang dikatakanya, jauhi yang dilarangnya. Kalian semua, meskipun pintar dan cerdas, kalau tidak patuh dan tunduk pada guru itu sama saja. Ilmunya tidak akan bermanfaaat dunia akhirat, sudah sepatutnya seorang santri taat pada kyainya, gurunya,”
“Sudah banyak cerita yang membuktikan kedahsyatan ridho seorang guru. Guru adalah panutan. Guru atau kyai itu seperti matahari yang bersinar terang. Ia menyinari rembulan dan bumi yang tertutup gelapnya malam. Santri juga begitu, tak ubahnya adalaah sebuah rembulan. Rembulan yang indah, menyinari setiap malam. Bulan tak akan bisa lepas dari matahari, karena rembulan membutuhkan cahaya matahari untuk bersinar terang. Matahari pun tak akan pernah berhenti untuk memberikan sinarnya pada rembulan. Begitu juga santri dan guru, santri akan mendapatkan keberkahan ilmu berkat khidmah dan ridho dari gurunya. Ia akan selalu membutuhkan ridho kyainya. Tanpa ridho kyai, seorang santri tak ubahnya seperti rembulan yang redup tak bersinar. Oleh karena itu kalian sebagai seorang santri harus khidmah pada guru, Insyaallah kalu kalian khidmah dan taat, kelak kalian akan sukses dunia akhirat mendapatkan keberkahan dalam setiap hari-harinya,” Dawuh Kyai Zubair.
Ali dengan seksama mendengarkan perkataaan dari kyainya, merenungi dirinya sendiri, apakah ia sudah menjadi seorang santri yang khidmah dan taat pada kyai? Apakah ia sudah patuh akan perintahnya? Entahlah. Selama ini ia hanya berusaha untuk menjadi santri yang taat aturan, yang rajin berangkat mengaji dan menghormati guru-gurunya.
Ali dan teman-temannya yang lain kemudian mendengrkan pengajian dan dawuh-dawuh dari Kyai Zubair sampai waktu pengajian selesai. Tak terasa, waktu sudah hampir sejam lebih, Kyai Zubair pun mengakhiri pengajiannya dengan do’a diikuti aamiin dari seluruh santri. Beliau menutup kitab ta’lim dan mengakhiri dengan bacaan hamdalah serta doa kafaratul majlis.
Kyai Zubair beranjak dari kursi dan berjalan meninggalkan ruangan. Sebelum keluar dari aula, Kyai Zubair menyapa Ali yang sedang menunduk.
“Nak Ali, nanti ikut Bapak ke ndalem yaa. Nak Ali ada waktu nda? kalau ada, Bapak minta kamu mijet Bapak ya. Bapak semalam habis dari luar kota, badan pegal-pegal dan tidak enak, kalau di pijat nak Ali pasti pegelnya langsung ilang. minta tolong ya nak Ali,”
“Nggih Kyai, Insyaallah, saya hari ini kosong,” Dengan sedikit kaget Ali menjawab dan menganggukan kepalanya.
“Nanti jam delapan-an, langsung ke ndalem aja, Bapak di ruang tamu”
“Nggih kyai,” jawab Ali penuh hormat.
“Kalau begitu makasih ya Li, Bapak mau istirahat dulu. Assalamuualikum”
“Nggih, Waalikumsalam Kyai,’’ jawab Ali dengan lirih.
Ali dan teman-temanya yang lain langsung meninggalkan Aula menuju kamar masing-masing.
“Wah Li, kamu beruntung loh, jarang-jarang loh ada santri yang dikenal pak yai, paling cuma beberapa,” Riyan memulai obrolan.
“Iya nih, bisa deket sama kyai, kita mah santri biasa, pinter engga dikenal kyai juga engga,” tambah Huda.
“Ga boleh gitu, aku ini cuma melaksanakan kewajibanku sebagai seorang santri, aku berusaha mengamalkan apa yang tadi diterangkan Kyai Zubair. Aku pengen khidmah dan taat sama guru, supaya ilmuku bisa bermanfaat dunia akhirat,” jawab Ali.
Singkat cerita, Ali sudah berada di ndalem Kyai Zubair dengan membawa minyak urutnya. Ia kemudian meminta ijin untuk memijat beliau.
Sesampainya di kamar usai memijat Kyai Zubair…
“Udah selesai li?” tanya Huda setelah Ali selesai memijat.
“Alhamdulillah sudah, pak kyai juga seneng dan udah agak enakan,” jawab Ali.
“Tadi di ndalem ngobrolin apa Li? kok baru pulang”
“Ya dengerin pak kyai cerita, petuah dan nasehat-nasehat beliau”
“Wah, beruntngnya, bisa dapat nasehat dari pak kyai langsung”
“Alhamdulilah“
Ali kemudian beristirahat sejenak, meluruskan badan dengan sebuah bantal usang. Suasana siang yang lumayan panas dan sedikit sepoi-sepoi angin, membuat siapapun mengantuk, apalagi tiduran di kamar bersama teman-temnnya, sungguh kenikmatan yang luar biasa. Ali lalu berusaha memejamkan mata, namun sebelum kedua matanya terpejam, ia kaget dengan datangnya kang Alif, membuka pintu kamar dengan keras.
“ALII, SELAMAT, KAMU MENANG JUARA I LOMBA ALFIYAH!!!”
Ali mendengar ucapan dari Kang Alif dengan perasaan kaget dan tak percaya. Ia kemudian bangun dari tidurnya. Ia mengucap syukur. Seluruh teman kamarnya pun kompak mengucapkan selamat kepada Ali, semua tampak bahagia.
Ya, minggu kemarin Ali memang ditunjuk oleh pihak podok untuk lomba di tingkat nasional. Ali ditunjuk untuk mengikuti cabang lomba Alfiyyah. Ia bersaing dengan ratusan santri dari seluruh podok pesantren di Indonesia. Ternyata ia menang, bahkan juara satu.
Ali, seorang santri luar biasa, yang sederhana dan baik hati, menjuarai lomba di tingkat yang bergengsi. Ali pun merenung sejenak, teringat perkataan dari Kyai Zubair tadi pagi. Ia pun yakin bahwa keberhasilannya itu adalah buah dari khidmah dan berkah kyai untuk santrinya, ia tak akan bisa di titik ini kalau bukan karena ridho guru dan kyainya.
Ternyata benar, Pada akhirnya Rembulan akan bersinar terang nan Indah, berkat matahari yang selalu memberikan sinarnya.
Penulis: Muhammad Ihsan