Beranda Cerpen Kalam Pesantren (Cerpen)

Kalam Pesantren (Cerpen)

1130
0
Kalam Pesantren
Komplek C Bawah

Hembusan angin sore menemani gadis cantik berjilbab biru yang bersandar dibawah pohon belakang pesantren. Tempat ini menjadi teman ceritanya setahun belakangan. Menikmati senja yang kian menampakkan wajahnya.

Sajak Perangai

Kata, bahasa berirama

Beradu vokal pada abjad

Tertata sajak bersua

Argumen dalam perangai

Terima, kata dalam bahasa

Kasih, tuturku ucapkan

Pada perangaianmu

Atas kubuta kata santun

Untukmu saudara bahasaku





Karya Aruna Jasmine | Semarang, 22 April 2020

“Mbak Aruna, didawuhi Ibuk,” kata Sabrina. Aruna menutup catatan sajaknya bergegas menemui Ibu Nyai.

***

Setahun yang lalu.

***

“Mbak Sari, niki kitabnya taruh mana?”

“Taruh lemari kitab, Syah.” Anggukan Aisyah yang paham akan lemari kitab Mbak Sari.

“Kamu nggak mau pinjem kitabnya juga, Run?” tanya Mbak Sari.

“Nggak Mbak, besok aja,” jawab Aruna, gadis perantauan dari Jakarta.

Petang yang indah dihiasi bintang-bintang yang berterbangan di langit. Sayangnya tidak bagi Aruna, ia di tunjuk ustaznya membaca Arab pegon dan menjelaskan secara terperinci. Aruna terdiam karena tidak bisa membacanya. “Kalau gitu besok kamu yang mewakili kelas lomba pidato Bahasa Jawa,” tutur Pak Ustaz. Runtuh sudah pertahanan Aruna. Hal yang ia hindari kini harus ia hadapi. Bagaimana ia bisa berpidato Bahasa Jawa jika Arab pegon pun ia belum bisa sama sekali? Begitu pula dengan lidahnya yang kelu akan Bahasa Jawa. Salah satu solusinya, ia harus belajar dengan Aisyah sahabatnya. Ya. Aisyah lah yang apik dalam bertutur kata Bahasa Jawa.

“Syah, bantuin aku dong,” mohonnya.

“Bantuin apa?” tanya Aisyah.

“Eeem… Bahasa Jawa.” Masih dengan logat Jakartanya, Aisyah mengernyitkan dahi.

“Ishh… ini tu disuruh Ustaz Zidan buat ikut lomba pidato Bahasa Jawa,” kesal Aruna.

”Lagian udah tau gua nggak bisa Bahasa Jawa, malah disuruh pidato Bahasa Jawa lagi!” lanjutnya.

“Itu tandanya kamu disuruh belajar Bahasa Jawa.”

“Tap – ,”

“Udah. Sekarang kita belajar,” potong Aisyah.

***

Sudah satu minggu Aruna belajar bahasa Jawa dengan Aisyah. Dari bahasa Jawa ngoko, krama inggil, hingga kromo alus. Ya. Ia harus belajar bahasa Jawa kromo alus, karena pesantrennya menerapkan berbahasa kromo alus pada siapapun. Karena letak pesantren di daerah Jawa Tengah tepatnya Purworejo.

“Kalau berdiri apa?” tanya Aisyah.

“Kalau bahasa ngokonya, ngadek. Tapi kalau krama alusnya,  jumeneng,” jawab Aruna.

“Terus kalau makan digunakan untuk orang tua, gimana?” tanyanya lagi.

Ngono wae orak biso,” kata Mbak Ayu dengan logat ngapaknya. “Kui,  jenenge dahar. Yen gawe awakke dewe, jenenge mangan…” jedanya. “Ngono kok melu lomba. Ya ora biso menang!” ketusnya. “Mbakkk!” bentak Aruna.

Aisyah menghela nafas. Sahabatnya kini mulai tersulut emosi karena sikap Mbak Ayu. “Udah ah Syah…” kata Aruna, memberesi buku-bukunya. “Aku mundur.”

Sudah dua jam ia melampiskan kekesalanya di rooftop pondok. Tangisanya mulai mereda, namun sakit hatinya masih membekas. Aisyah mendekati dan menenangkaNnya. “Kenapa sih, disini harus pake bahasa krama alus?” tanyanya kesal.

“Karena bahasa adalah akhlak,” jawab Aisyah.

“Maksudnya?”

“Akhlak yang baik pasti memiliki bahasa yang baik juga,” jelas Aisyah.

“Kok bisa?” heranya

“Gini, orang yang memiliki akhlak baik pasti akan menerapkan ilmunya dengan baik juga, seperti bertutur kata. Abah menerapkan bahasa krama di pesantren ini, karena abah ingin santri-santrinya memiliki akhlakul karimah,” jelas Aisyah.

“Susah Syah…”

“Dicoba dulu Aruna.” Aruna masih teringat jelas kata-kata Mbak Ayu yang membuatnya sakit hati.

“Pokoknya aku mau mengundurkan diri!”

“Ayolah Run… nggak ada salahnya dicoba dulu.” Aruna mulai jengah.

“Udahlah Syah! Nggak usah paksa aku. Jelas tuh bakalan kalah kalau aku yang mewakili.”

 “Run…”

“Syah, aku tetep mundur!” timpal Aruna.

Kejadian dua hari lalu membuat Aruna mendiami Aisyah. Bahkan ia tidak bermain di kamar Aisyah, walaupun kamarnya bersebelahan. Sedangkan perlombaan tinggal sepuluh hari lagi.

“Gitu aja udah nyerah. Kemarin udah melas-melas minta diajari.” Sindir Mbak Ayu yang duduk di samping Aruna.

“Maksud Mbak apaan sih. Aku nggak nyerah ya!” sangkal Aruna kesal.

“Kalo gitu tunjukin. Jangan omong doang,” kata Mbak Ayu sambil berlalu dengan ekspresi nyinyir.

Aruna bergegas menghampiri mbak Sari. “Mbak Sari, minjem buku yang pidato sama Bahasa Jawanya dong!” pinta Aruna.

Mbak Sari tersenyum, “udah ngga nyerah?” tanyanya santai.

“Siapa bilang aku nyerah?” jawab Aruna.

***

            Disinilah sekarang ia berada, di taman belakang pondok. Sudah satu minggu ia belajar pidato dan Bahasa Jawa. Sekali-kali ia bertanya Mbak Sari kata yang sulit ia mengerti. Ia merindukan belajar dengan Aisyah yang sabar membimbingnya. Tapi entahlah, ia merasa malu karena kejadian ketika ia menyerah di depan Aisyah. “Aku harus temui Aisyah, dan minta maaf,” batin Aruna. “Aku juga harus cerita, kalau sekarang aku sudah mulai bisa berbahasa Jawa krama alus dan yang pasti aku udah lancar pidato bahasa Jawa,” batinnya senang.

“Mbak Risa, Aisyahnya ada?” 

“Aisyah di ruang kesehatan,” jawab Risa. Teman sekamarnya.

“Ke… kenapa Mbak?” Aruna kaget.

“Sakit. Sudah tiga hari ia disana,” jelas Risa kepada Aruna.

“Ya udah Mbak, aku kesana. Makasih,” katanya berlalu.

***

Hari menegangkan pun tiba. Lomba pidato Bahasa Jawa sudah di depan mata. Suasana aula yang mencekam membuat tubuhnya panas dingin. Berkali-kali ia membuang nafas dan membaca Al-fatihah. Ia harus bisa. Ia sudah janji pada Aisyah, kalau dia bisa memenangkan lomba ini. “Semoga Aisyah cepat sembuh. Aku bakal sambut kesehatanmu dengan pialaku,” batinnya semangat.

Langit cerah dan awan bergerumbul cantik membuat siapapun bahagia. Begitu pula Aruna, setelah ia berhasil memenangkan lomba pidato. Sekarang ia harus memberi kabar gembira ini pada Aisyah. Ia berlari menuju ruang kesehatan. Sayangnya ia tidak bisa melihat Aisyah disana, “nyari Aisyah ya?” tanya petugas kesehatan.

 “Iya, Mbak. Aisyah kemana ya?”

“Tadi malam Aisyah dirujuk ke Rumah Sakit.” Hatinya kecewa ia harus bersabar menunggu sahabatnya kembali ke pesantren. Aruna berjalan lemas menuju kamarnya, belum sampai kamarnya ia berhenti. “Brakk!!!” piala yang ia genggam jatuh sudah.

***

Awan yang cerah kini berganti menjadi hitam pekat dengan kilatan petir yang siap menyambar siapapun. Aruna berlari mencari kebenaran pada Mbak Sari. “Mbak Sari, ini ngga benarkan? Aisyah sehat kan?” cercanya memegang kedua bahu Mbak Sari mencari kejelasan. Gelengan kepala Mbak Sari membuat dadanya makin sesak. “Allah lebih sayang Aisyah, Aruna,” kata Mbak Ayu terisak sambil menenangkannya.

Sikap Aisyah yang perhatian ternyata untuk menutupi penyakit jantungnya. Aruna menangis pilu sahabatnya kini telah pergi.

Sejak kepergian Aisyah, Aruna sudah berubah. Ia banyak belajar dari sahabatnya, akhlaknya, tawadhu’nya dan Aruna mulai fasih berbahasa krama halus.

Walaupun Aruna belum bisa seperti Aisyah, tetapi ia tetap belajar. Bukan hanya belajar dari Aisyah saja, ia pun belajar dari sifat Mbak Sari yang sabar dan penuh senyum, dari Mbak Ayu yang tegas dan selalu memberi semangat, walaupun orangnya memang ngeselin.

***

Aruna bergegas ke ndalem, takut ada sesuatu penting yang ingin Ibu Nyai maturkan.

“Assalamu’alaikum,”

“Wa’alaikumsalam,” jawab Abah dan Ibu nyai yang berada diruang tamu.

Mriki Nduk. Duduk sini,” kata Ibu Nyai meminta duduk disebelahnya.

Pripun Buk,” tanyanya menunduk.

Ibu nyai tersenyum, “Abah kemarin sudah kerumahmu, Nduk.” Aruna terkejut.

Wonten punopo Buk, saya gadah kesalahan?” tanyanya takut.

“Ora Nduk… Abah sampun matur karo wong tua mu. Nyuwun kamu menjadi putri kami.”

Pripun, Buk?” Aruna terkejut.

“Le… sini tah,” panggil Bu Nyai ke putranya, Gus Kafka.

Omongo toh,” lanjut Bu Nyai.

“Abah meminang kamu untuk menjadi istri saya,” terang Gus Kafka.

Guratan raut muka Aruna terlihat jelas. “Gimana Nduk?” tanya Bu Nyai penasaran.

Ibuk kalian abah niku remen kalih akhlak dan tutur bahasamu, Nduk.

Aruna masih terdiam dengan ucapan Gus Kafka yang tiba-tiba. “Le, biasanya diamnya wanita itu tandanya iya,” tutur Bu Nyai  sambil tersenyum. Semburat merah pipi Aruna menjadi jawaban dari bahasa tubuhnya. Gus Kafka tersenyum melihat anggukan Aruna, bahwa pinangannya diterima.

LOMBA MENULIS CERPEN

Tema: Peran Santri dalam Melestarikan Bahasa

Dalam Rangka Bulan Bahasa 2020 Pondok Pesantren Tarbiyatul Islam Al Falah Salatiga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini